Oleh: Tatang Pahat
Kepenatan pikiran akibat prilaku pejabat tanpa sentuhan nurani apalagi tanpa keterbukaan akan memunculkan kekeringan makna. Hal itu menyebabkan munculnya sebuah penyaikt yang namannya arogansi eksistensi sektoral yang sedikit besarnya telah merobah tatanan prilaku masyarakat kita menjadi pragmatis, oportunis dan apatis. Kondisi semacam ini sudah tentu tidak dapat dibiarkan. Di lain pihak desakan sebagian masyarakat yang membuat masyarakat sedikit besarnya terpengaruh dengan ritme ini.
Kepenatan pikiran akibat prilaku pejabat tanpa sentuhan nurani apalagi tanpa keterbukaan akan memunculkan kekeringan makna. Hal itu menyebabkan munculnya sebuah penyaikt yang namannya arogansi eksistensi sektoral yang sedikit besarnya telah merobah tatanan prilaku masyarakat kita menjadi pragmatis, oportunis dan apatis. Kondisi semacam ini sudah tentu tidak dapat dibiarkan. Di lain pihak desakan sebagian masyarakat yang membuat masyarakat sedikit besarnya terpengaruh dengan ritme ini.
Munculnya gerakan-gerakan moral sebagai kontrol sosial terhadap kerja dan kinerja pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang digelontorkan, terkadang tidak berpihak pada rakyat yang disebabkan kepentingan dan kebutuhan segelintir orang. Malah yang lebih parah ekspresi-ekspresi yang sipatnya kontrol terhadap kebijakan dan atau program pemerintah yaitu “bersihkan korupsi” dilarang bahkan dinistakan.
Seharusnya Walikota memberikan contoh kepada masyarakat dengan mengedepankan hukum di atas segala galannya, bukannya cuci tangan pada persoalan-persoalan penuntasan hukum diwilayahnya. Sementara negara kita negara hukum dan tentu saja harus menjadi panglima. Semestinya munculnya gerakan-gerakan kontrol sosial dari generasi muda, yang peduli terhadap Tasikmalaya yang Clean Government harus diapresiasi, bukan malah menjadi pesakitan dan dipersalahkan. Aneh memang!
Inilah krisis yang ada di Kota Tasikmalaya. Sudah waktunya pemerintah membuka diri, dengan mengedepankan keberpihakan pada masyarakat, dikongkretkan dengan adanya gerakan bersih-bersih di lembaga yang terindikasi bermasalah. Sudah waktunya hukum kembali pada khitohnya. Demi perbaikan Kota Tasikmalaya yang bersih, profosional dan profesional. Tidak seperti yang beredar di media online menyikapi kasus keranda mayat di TOF (Tasik Oktober Festival), malah dilarang dan atau di jegal. Inilah yang menjadi soal!
Padahal sebetulnya gerakan itu sebenarnya sebuah ekspresi demi kota Tasikmalya yang bersih dari korupsi. Sepertinya lebih elegan kalau ekspresi semacam itu direnungi dan dijadikan cambuk untuk lebih menata diri supaya lebih baik dalam mengayomi, apalagi ini meruapakan salah satu ekspresi masyarakat Kota Tasikmlaya. Bukankah TOF itu milik masyarakat Kota Tasikmalaya!
Gerakan “nyeleneh” mungkin akumulasi dari berbagai persoalan-persoalan yang menyangkut hukum di Tasikmalaya yang belum tuntas atau berniat tidak dituntaskan. Persoaln ini sudah timbul beberapa tahun ke belakang dalam pemerintahan Walikota Bapak Budi Budiman. Pertanyaannya apakah kepemimpinan periode kedua Budi Budiman akan tetap sama atau ada perubahan, mari kita lihat bersama!
Sisi lain masyarakat berharap banyak ada kejelasan, keterbukaan perihal supremasi hukum di Kota Tasikmalya. yang di buat oleh para pengemban amanah yaitu legislatif dan eksekutif, jangan sampai supermasi hukum menggelembung begitu saja di Kota Tasilmalaya.
Catatan ini semata mata demi menjaga Kota Tasikmlaya yang kita cintai, nyaman, berbudaya tentu saja di dalamnya beretika. Sudah selayaknya pemerintah berpihak pada masyarakatnya bukan berpihak pada kepentingan atau kelompoknya yang jelas-jelas rakyat bertanya tanya terkait status Walikota masih tersangka. Catatan kecil ini juga menyikapi soal ekspresi dari kasus Keranda mayat pada perhelatan TOF (Tasik Oktober Tasikmalaya), kemarin.***