(Catatan kecil menanggapi tentang keberadaan Situ Gede)
OLeh: Tatang Pahat
Keberadaan sebuah tempat yang mengandung kearifan, katakanlah Situ Gede berawal dari habit atau kebiasaan masyarakat sehingga menjadi hukum tersirat (hukum sebab akibat). Kesadaran ini kelihatannya tidak ada di stake holder, bahwasannya perlambang (simiotika) adalah sesuatu rajutan cerita yang terajut dengan roh hakekat keberadaan suatu tempat yang mempunyai kekuatan kearifan tadi. Kemudian ekpresi dalam sebuah konsep yang di implementasikan dengan sebuah gerakan budaya menjadi suatu keniscayaan terhadap rajutan dalam tekstur folklor perihal prilaku budaya masyarakat (red).
Seharusnya Walikota Tasikmalaya memberikan masukan ke Kepala Dinas terkait (bukan dinas terkait yang ikut karnaval tempo Hari di perhelatan TOF) dalam hal ini DISPORABUDPAR (Dinas Pemuda,Olahraga,Kebudayaan,Pariwisata) Kota Tasikmalaya yang di komandani Bapak Hadian.
Karena sampai detik ini menyoal persoalan situ gede berkutat di masalah retorika dan wacana saja tanpa ada eksen apalagi solusi. Seperti ketika paparan kadis Hadian di beberapa media online yang menyatakan bahwa SITU GEDE SUDAH TERSENTUH dan TERTANGANI, padahal kenyataannya berbanding terbalik.
Maka wajar ketika kami masyarakat, khusunya masyarakat budaya mempunyai kecurigaan, jangan jangan pemerintah lewat perpanjangan tangannya yaitu DISPORABUDPAR tidak mepunyai konsep untuk pengembangan Situ Gede yang secara intertekstual syarat dengan makna. Persoalan ini harus di gali, seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Atau Walikota salah memilih dan atau menujnuk orang yang menangani tentang budaya dan kearifan lokal. Padahal persoalan yang ada di Situ Gede intinya harus ada daya dan atau harus membuat sebuah peristiwa sebagai daya magnet sehingga menjadi center of interest.
Belum lama ini, pernah ada sebuah kegiatan yang di prakarsai oleh masyarakat mangkubumi “Patih Mangkubumi” yang di bidani oleh sahabat Asep Rijal As ‘ary, dan kawan kawan. Itu pun Sebernarnya tanpa ada campur tangan pemerintah, energi positif ini selayaknya di tangkap untuk dijadikan sebagai pemantik atau ide dan gagasan awal. Sisi lain selayaknya peristiwa itu menjadi stimulus untuk peperintah, jangan hanya berkutat di tingkatan dialektika nihilis, mengembangkan persoalan ini harus di konkretkan.
Namun, anehnya sikap Pemerintah lewat corong pak Hadian sebagai komandan di DISPORABUDPAR dibeberapa media online kelihatannya mengedepankan pencitraan selalu berwanana berapologi cenderung memberi harapan palsu alias PHP “Situ Gede yakin akan menjadi daya tarik wisata lah, sebagai tempat destinasi pariwisata lah dan masih banyak lagi (red).
Sikap seperti ini, artinya statement-statnent pemerintah terkesan malah semakin menjelaskan bahwa persoalan konsep pengembangan situ gede, pemerintah kelihatannya tidak punya konsep untuk mengembangkan situ gede karena masih berkutat di wilayah wacana dan retorika dan ini adalah ke-salahan besar.
Mari kita lihat dan rasakan lebih apik seksama dan mendalm selama kepeminpinan Walikota Budi-Yusuf kurang lebih 2 tahun ke belakang, menyoal tentang pemajuan kebudayaan di kota Tasikmalaya, khususnya perlakuan terhadap keberadaan Situ Gede, sama sekali tidak ada progres, malah yang muncul saling lempar, itu tanggung jawab dan kebijakan Provinsi lah, bukan kebijakan pemerintah kota lah dan masih banyak lagi.
Inilah letaknya soalnya! Pemerintah kota Tasikmalaya khususnya walikota semestinya belajar terhadap kho tjong (ko acong) dengan Tee jayy atau Boy BKL dengan kesuksesanya karangresik mereka telah sukses dengan tingkatan eksen, karena mereka membaca indeks kebahagiaan karakter masyarakat Tasikmalaya secara menyeluruh yang butuh akan hiburan. Artinya ada dua persoalan yaitu Walikota salah memilih orang untuk menangani pesoalan ini atau walikota tidak punya konsep untuk memajukan budaya yang berkembang di wilayah kekuasaanya. Maka wajar sampai detik ini jika situ gede terabaikan, bahkan terbengkalai. Padahal keberadaan situ gede bisa menjadi sebuah etalase budaya di Jawa Barat bahkan Indonesia dan bisa menjadi kebanggaan pemerintah Kota Tasikmalaya.
Jika di lihat dari keberedaan situ gede yang berada di tengah kota (hanya satu satunya situ yang berada di tengah kota di Jawa Barat). Kalaupun ada situ buleud di Purwakarta itu adalah situ buatan bukan situ alami seperti situ gede. Selain letaknya di tengah kota Situ Gede mempunyai foklor yang luar biasa. Dua kekuatan ini sebetulnya bisa di eksplor dan menjadi energi untuk dijadikan sebuah peristiwa yang mumpuni sehingga menjadi magnet destinasi pariwisata dan tentu saja perlu sentuhan orang yang mengerti dan faham.
Intinya harus ada kesadaran kolektif bahwa peristiwa budaya bukan lagi berbicara sektoral tapi berbicara harga diri pemerintahan Kota Tasikmalaya secara utuh dan menyeluruh. Terakhir pemerintah dalam hal ini Walikota, harus bertanggung jawab dan harus mempertanggungjawabkan di mata masyarakatnya, jangan kalah oleh kekuatan kekuatan individu (Tee jayy dan karang resik).
Satu lagi, mengingatkan Alar’m Herbert Ketika pemerintah Penguasa berselingkuh dengan pedagang (calo) dan atau “Broker” di situlah benih benih kehancuran.
#Sialanan